Ta’lim Rutin Sabtu, 17 Maret 2012
Ajaran Islam sangat menekankan pada proses, karena untuk menjadi
isteri yang sholihah tidak serta merta jadi. Yang dimaksud proses ini
adalah untuk menjadi istri yang sah harus melalui proses akad nikah.
Sebelum proses akad nikah, ada proses sebelumnya yang biasa disebut
khitbah yang hukumnya sunnah. Sebelumnya terlebih dahulu dilalui proses
ta’aruf. Sebelum melalui proses ta’aruf ini, Rosululloh pernah bersabda,
“Wahai kaum muda barangsiapa diantara kalian yang telah mampu maka
hendaklah kalian menikah karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat
menundukkan pandangan mata dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barang
siapa yang belum mampu maka hendaklah berpuasa, karena sesungguhnya
dengan puasa dapat mengendalikan syahwat baginya.”
Yang dimaksud dengan kesiapan seseorang terhadap suatu pernikahan
adalah jika dia seorang akhwat, maka dia siap untuk menjalani suatu
proses dan siap untuk mengemban amanah menjadi isteri. Jika direnungkan
lebih jauh, lebih ditekankan pada kesiapan menerima amanah. Tentu ada
kesiapan yang lain, seperti kesiapan fisik. Misalnya ketika hewan sudah
siap secara fisik, maka ia tidak perlu belajar, begitupun dengan
manusia, misalnya sudah haid. Secara maknawiyah seorang mukminah dia
harus mengetahui bagaimana Islam mengajarkan kepada merfeka untuk
menjadi isteri yang sholehah terkait ilmu yang harus dipelajari. Apabila
sudah siap dengan ilmunya, maka setelah siap itu maka segeralah
menikah, dan jangan ditunda-tunda. Jika belum siap maka berpuasalah.
Untuk wanita yang masih lajang, berpuasa sunnah tidak perlu izin (ke
suami). Hikmahnya adalah banyak-banyaklah berpuasa.
Jika seseorang sudah merasa siap (dalam hal ilmu), maka yang
bersangkutan diperintahkan untuk mencari pilihan. Jodoh termasuk rahasia
Alloh, oleh karena itu harus ada upaya untuk menjemput jodoh tersebut.
Selama ini yang ada dalam frame kita adalah yang bersikap aktif adalah
kaum ikhwan. Padahal ada bukti nyata bahwa akhwat pun juga boleh aktif.
Contoh nyatanya terjadi pada khadijah yang aktif dibandingkan dengan
Rosululloh. Artinya tidak haram jika akhwat bersikap aktif, namun
caranya harus dengan cara Islami. Bunda Khadijah saat ingin mengenal
Rosululloh, beliau menggunakan pihak ketiga (ikhwan). Beliau meminta
seorang ikhwan untuk ikut bersama Rosulloh berdagang. Dari situlah Siti
Khadijah mengetahui banyak hal tentang Rosulloh. Ada kasus lain, ada
seorang sahabat yang mendatangi Rosululloh. “Ya Rosulloh, saya akan
menikah dengan wanita anshor”. Ini membuktikan bahwa sahabat sangat
dengan Rosululloh. Oleh karena itu sangat ditekankan untuk istisyaroh
kepada murobbi dan murobbiyyah. Terkait dengan entry point, tidak
terlalu dipermasalahkan. Boleh diantarkan oleh murrobbi, orang tua,
maupun kawannya, tapi setelah itu ada proses istisyaroh dengan murobbi.
“Apakah kalian sudah melihatnya?” kata Rosululloh menanggapi pertanyaan
sahabatnya tadi. “Belum”, kata sahabatnya. “Maka lihatlah dia,” kata
Rosul. Nadzor (melihat) itu ketika dilakukan dengan seseorang yang sudah
siap menikah, maka yang awalnya dilarang untuk melihat, maka hal ini
malah diperintahkan. “Karena sesungguhnya pada wanita kaum Anshor ada
sesuatu”,lanjut Rosululloh.
Dalam hadits yang lain riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah,”Apabila
Alloh telah memantapkan di hati seseorang keinginan untuk mengkhitbah
seseorang, maka ia tidak berdosa untuk melihatnya”. Dalam kaitan dengan
fikud Dakwah, pada saat melihat maka diperkenankan melihat bagian yang
boleh dilihat, melihatnya jangan sampai menimbulkan fitnah (sesuatu yang
kurang baik terhadap dakwah) (disarankan melihatnya pada saat yang
bersangkutan tidak tahu saat dia sedang dilihat). Karena terkadang
ketika ikhwannya sudah siap, belum tentu sang akhwat sudah siap. Maka
hal ini tidak dipaksakan. Ingat… yang diizinkan hanya melihat
bukan menyentuh. Oleh karena itu pacaran dalam Islam itu diharamkan.
Berdasarkan pengalaman, karena sering berganti pacar, maka saat sudah
mengarungi biduk rumah tangga dan tak sengaja ketemu dengan mantan
pacar, maka hancur dengan seketika rumah tangganya. Bahkan ada yang
sampai berzina (Na’udzubillahi mindzalik..). oleh karena itu kejujuran
sangat penting dalam kaitan ini. Jangan digeser gara-gara hawa nafsu.
Jika yang terjadi sebaliknya, akwat yang nazdor, maka itu masih
diperkenankan, asal masih dalam batasan Syar’i. Dalam hadits yang lain
riwayat Bukhori, Tirmidzi, Nasa’ai, Ahmad, ada sahabat nabi bernama
Mughiroh bin Su’bah. Dia pernah punya keinginan untuk melamar seorang
wanita.”Lihatlah dia karena sesungguhnya hal itu lebih menjamin hubungan
kalian berdua”. Jika ada kabar bahwa ada seorang ikhwan yang akan
mempersunting dia, maka seorang akhwat harus ingat hadits ini. Coba
pikir, apakah ikhwan itu sudah pernah melihat saya (akhwat),
jangan-jangan hanya melihat dalam foto bukan aslinya. Oleh karena itu
disinilah pentingnya ta’aruf, sehingga sebelum khitbah sudah ada
keyakinan saat menikah. Bahkan tidak salah ketika sang akhwat bertanya
tentang alasannya mengkhitbah sang akhwat, sehingga clear dan jelas (penekanan ni). Ada hadits riwayat Imam Tirmidzi,”Jika datang melamar kepadamu seorang yang engkau ridho akan dien dan akhlaqnya,
maka nikahkanlah dengannya. Jika kamu tidak menerima khitbah itu maka
akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang luas”. Yang dimaksud
dengan fitnah dan malapetaka, bisa jadi tidak datang lagi orang-orang
yang baik. Dari sinilah tidak ada diberikan batas waktu, yang jelas
sampai ridho akan dien dan akhlaqnya. Coba perhatikan bulughul marom bab
munakahat dan riyadhus sholihin.
Sebelum akad maka hal ini harus dirahasiakan. Saat khitbah saja tidak
boleh diceritakan apalagi hanya ta’aruf. Baru saat akad wajib
dii’lankan. Sehingga jika terjadi apa-apa, tidak ada masalah. Inilah
pentingnya menjaga rahasia. Yang dimaksud dengan ta’aruf itu tidak hanya
sekali selesai. Sampai saat menjadi suami isteri pun masih terus
dilakukan ta’aruf.
Taubat berkaitan dengan tiga hal:
1. Yang berkaitan dengan aqidah
Syarat taubat yang diterima:
- Taubat karena Alloh
- Tidak mengulangi lagi perbuatan itu dan menyesali atas
perbuatannya - Melangkah dengan amal sholeh sesuai dengan ketentuan Alloh dan Rosulnya
2. Yang berkaitan dengan pelanggaran ibadah
3. Berbuat dosa yang berkaitan dengan interaksinya dengan orang
lain. Hal ini harus diselesaikan dengan baik kaitannya dengan manusia
disamping urusannya dengan Alloh
Syarat taubat yang diterima:
- Taubat karena Alloh
- Tidak mengulangi lagi perbuatan itu dan menyesali atas
perbuatannya - Melangkah dengan amal sholeh sesuai dengan ketentuan Alloh dan Rosulnya
- Selesaikan dengan orang dimana kita pernah berbuat salah atas dirinya.
Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan harus orang yang faham
karena pertanggungjawabannya di hadapan Alloh. Karena pada hakikatnya
pernikahan itu menghalalkan yang haram.
Menikah itu berkaitan dengan ibadah dan dakwah. Dinilai ibadah karena
diperintahkan oleh Alloh dan Rosul. Dinilai dakwah karena akan
melahirkan generasi-generasi robbani. Sehingga untuk menikah harus
mempertimbangkan fikul ahkam dan fikud dakwah.
REPOST FROM https://ponpesaliffah.wordpress.com/
REPOST FROM https://ponpesaliffah.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar