Senin, 29 Februari 2016

MUSLIMAH SEBAGAI ISTRI SHOLIHAH


Ta’lim Rutin                                                                                                                                    Sabtu, 17 Maret 2012

Ajaran Islam sangat menekankan pada proses, karena untuk menjadi isteri yang sholihah tidak serta merta jadi. Yang dimaksud proses ini adalah untuk menjadi istri yang sah harus melalui proses akad nikah. Sebelum proses akad nikah, ada proses sebelumnya  yang biasa disebut khitbah yang hukumnya sunnah. Sebelumnya terlebih dahulu dilalui proses ta’aruf. Sebelum melalui proses ta’aruf ini, Rosululloh pernah bersabda, “Wahai kaum muda barangsiapa diantara kalian yang telah mampu maka hendaklah kalian menikah karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan pandangan mata dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu maka hendaklah berpuasa, karena sesungguhnya dengan puasa dapat mengendalikan syahwat baginya.”
Yang dimaksud dengan kesiapan seseorang terhadap suatu pernikahan adalah jika dia seorang akhwat, maka dia siap untuk menjalani suatu proses dan siap untuk mengemban amanah menjadi isteri. Jika direnungkan lebih jauh, lebih ditekankan pada kesiapan menerima amanah. Tentu ada kesiapan yang lain, seperti kesiapan fisik. Misalnya ketika hewan sudah siap secara fisik, maka ia tidak perlu belajar, begitupun dengan manusia, misalnya sudah haid. Secara maknawiyah seorang mukminah dia harus mengetahui bagaimana Islam mengajarkan kepada merfeka untuk menjadi isteri yang sholehah terkait ilmu yang harus dipelajari. Apabila sudah siap dengan ilmunya, maka setelah siap itu maka segeralah menikah, dan jangan ditunda-tunda. Jika belum siap maka berpuasalah. Untuk wanita yang masih lajang, berpuasa sunnah tidak perlu izin (ke suami). Hikmahnya adalah banyak-banyaklah berpuasa.
Jika seseorang sudah merasa siap (dalam hal ilmu), maka yang bersangkutan diperintahkan untuk mencari pilihan. Jodoh termasuk rahasia Alloh, oleh karena itu harus ada upaya untuk menjemput jodoh tersebut. Selama ini yang ada dalam frame kita adalah yang bersikap aktif adalah kaum ikhwan. Padahal ada bukti nyata bahwa akhwat pun juga boleh aktif. Contoh nyatanya terjadi pada khadijah yang aktif dibandingkan dengan Rosululloh. Artinya tidak haram jika akhwat bersikap aktif, namun caranya harus dengan cara Islami. Bunda Khadijah saat ingin mengenal Rosululloh, beliau menggunakan pihak ketiga (ikhwan). Beliau meminta seorang ikhwan untuk ikut bersama Rosulloh berdagang. Dari  situlah Siti Khadijah mengetahui banyak hal tentang Rosulloh. Ada kasus lain, ada seorang sahabat yang mendatangi Rosululloh. “Ya Rosulloh, saya akan menikah dengan wanita anshor”. Ini membuktikan bahwa sahabat sangat dengan Rosululloh. Oleh karena itu sangat ditekankan untuk istisyaroh kepada murobbi dan murobbiyyah. Terkait dengan entry point, tidak terlalu dipermasalahkan. Boleh diantarkan oleh murrobbi, orang tua, maupun kawannya, tapi setelah itu ada proses istisyaroh dengan murobbi. “Apakah kalian sudah melihatnya?” kata Rosululloh menanggapi pertanyaan sahabatnya tadi. “Belum”, kata sahabatnya. “Maka lihatlah dia,” kata Rosul. Nadzor (melihat) itu ketika dilakukan dengan seseorang yang sudah siap menikah, maka yang awalnya dilarang untuk melihat, maka hal ini malah diperintahkan. “Karena sesungguhnya pada wanita kaum Anshor ada sesuatu”,lanjut Rosululloh.
Dalam hadits yang lain riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah,”Apabila Alloh telah memantapkan di hati seseorang keinginan untuk mengkhitbah seseorang, maka ia tidak berdosa untuk melihatnya”. Dalam kaitan dengan fikud Dakwah, pada saat melihat maka diperkenankan melihat bagian yang boleh dilihat, melihatnya jangan sampai menimbulkan fitnah (sesuatu yang kurang baik terhadap dakwah) (disarankan melihatnya pada saat yang bersangkutan tidak tahu saat dia sedang dilihat). Karena terkadang ketika ikhwannya sudah siap, belum tentu sang akhwat sudah siap. Maka hal ini tidak dipaksakan. Ingat… yang diizinkan hanya melihat bukan menyentuh. Oleh karena itu pacaran dalam Islam itu diharamkan. Berdasarkan pengalaman, karena sering berganti pacar, maka saat sudah mengarungi biduk rumah tangga dan tak sengaja ketemu dengan mantan pacar, maka hancur dengan seketika rumah tangganya. Bahkan ada yang sampai berzina (Na’udzubillahi mindzalik..). oleh karena itu kejujuran sangat penting dalam kaitan ini. Jangan digeser gara-gara hawa nafsu.
Jika yang terjadi sebaliknya, akwat yang nazdor, maka itu masih diperkenankan, asal masih dalam batasan Syar’i. Dalam hadits yang lain riwayat Bukhori, Tirmidzi, Nasa’ai, Ahmad, ada sahabat nabi bernama Mughiroh bin Su’bah. Dia pernah punya keinginan untuk melamar seorang wanita.”Lihatlah dia karena sesungguhnya hal itu lebih menjamin hubungan kalian berdua”. Jika ada kabar bahwa ada seorang ikhwan yang akan mempersunting dia, maka seorang akhwat harus ingat hadits ini. Coba pikir, apakah ikhwan itu sudah pernah melihat saya (akhwat), jangan-jangan hanya melihat dalam foto bukan aslinya. Oleh karena itu disinilah pentingnya ta’aruf, sehingga sebelum khitbah sudah ada keyakinan saat menikah. Bahkan tidak salah ketika sang akhwat bertanya tentang alasannya mengkhitbah sang akhwat, sehingga clear dan jelas (penekanan ni). Ada hadits riwayat Imam Tirmidzi,”Jika datang melamar kepadamu seorang yang engkau ridho akan dien dan akhlaqnya, maka nikahkanlah dengannya. Jika kamu tidak menerima khitbah itu maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang luas”. Yang dimaksud dengan fitnah dan malapetaka, bisa jadi tidak datang lagi orang-orang yang baik. Dari sinilah tidak ada diberikan batas waktu, yang jelas sampai ridho akan dien dan akhlaqnya. Coba perhatikan bulughul marom bab munakahat dan riyadhus sholihin.
Sebelum akad maka hal ini harus dirahasiakan. Saat khitbah saja tidak boleh diceritakan apalagi hanya ta’aruf. Baru saat akad wajib dii’lankan. Sehingga jika terjadi apa-apa, tidak ada masalah. Inilah pentingnya menjaga rahasia. Yang dimaksud dengan ta’aruf itu tidak hanya sekali selesai. Sampai saat menjadi suami isteri pun masih terus dilakukan ta’aruf.
Taubat berkaitan dengan tiga hal:
1.       Yang berkaitan dengan aqidah
Syarat taubat yang diterima:
  • Taubat karena Alloh
  • Tidak mengulangi lagi perbuatan itu dan menyesali atas
    perbuatannya
  • Melangkah dengan amal sholeh sesuai dengan ketentuan Alloh dan Rosulnya
2.       Yang berkaitan dengan pelanggaran ibadah
3.       Berbuat dosa yang berkaitan dengan interaksinya dengan orang lain. Hal ini harus diselesaikan dengan baik kaitannya dengan manusia disamping urusannya dengan Alloh
Syarat taubat yang diterima:
  • Taubat karena Alloh
  • Tidak mengulangi lagi perbuatan itu dan menyesali atas
    perbuatannya
  • Melangkah dengan amal sholeh sesuai dengan ketentuan Alloh dan Rosulnya
  • Selesaikan dengan orang dimana kita pernah berbuat salah atas dirinya.
Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan harus orang yang faham karena pertanggungjawabannya di hadapan Alloh. Karena pada hakikatnya pernikahan itu menghalalkan yang haram.
Menikah itu berkaitan dengan ibadah dan dakwah. Dinilai ibadah karena diperintahkan oleh Alloh dan Rosul. Dinilai dakwah karena akan melahirkan generasi-generasi robbani. Sehingga untuk menikah harus mempertimbangkan fikul ahkam dan fikud dakwah.

REPOST FROM https://ponpesaliffah.wordpress.com/

0 komentar:

Posting Komentar